Dulu, ketika usiaku sekitar tujuh tahun, waktu itu kelas 2 sekolah dasar yang cukup jauh dari rumahku.
Siang itu, saat kelahan sepulang dari sekolah. saat terik matahari tepat di ubun-ubun, membakar.
Bersama bilur-bilur peluh yang tak hnti-hentinya menetes. Aku masuk ke pekarangan sebuah sekolah menengah. Hal yang cukup lumrah bagi semua orang ketika melihat tubuh kecilku berlarian di sekolah itu.
Aku mendekati sebuah ruang kecil di ujung bangunan. Ya, mamaku!
Siang itu begitu berbeda. Ada selaksa senyum yang menyabit di wajahnya. Ada apa?
Sebuah buku menjulur untukku. Aku tak mengerti. Apa ini?
kubaca judulnya. Aku memang sudah fasih membaca sejak usiaku masih terlalu kecil, bahkan saat itu aku belum masuk TK. aku suka membaca kalimat-kalimat di kemasan makanan, dan ketika masuk TK aku sudah mulai terbiasa membaca koran pagi.
Buyar! Aku bingung..
Apa itu Bangladesh? Apa itu Chili?
Nama makanan kah? atau nama hewan?
Entahlah..
Tapi aku sudah cukup mengerti dari sedikit petunjuk di judulnya "Dongeng-Dongeng Bijak Dari Penjuru Dunia"
Memangnya dunia bisa masuk dalam buku? Memangnya dunia sekecil itu?
Berlagak, aku membaca bagian belakangnya..
"Tanamlah apa yang bisa kau tanam, lalu petiklah apa yang bisa kau petik"
Sesingkat itu? Aku tak mengerti maksud dari "dunia" yang sedang kugenggam ini. Apa yang akan ku tanam? Apa yang harus ku petik? Tomat kah? Jagung kah? Buku ini mulai mengganggu otakku..
Kubuka halaman pertama. Aku mencari gambar, ya, aku mencarinya. Tapi tak ada gambar, tak ada gambar seperti buku-buku dongengku. Lalu dengan jalan apa aku mengerti? dengan mengkhayalkah? dengan Membacakah?
Ku tatap wajahnya, hanya tersenyum. Lalu bagaimana aku mengerti?
Aku segera berlari pulang ke rumah..
Aku kembali membuka setiap lembaran lembarannya..
"Burung Gagak dan Burung Gereja"
Aku mulai marah! Kenapa bukan Burung Gagah dan Burung Masjid? kenapa harus mereka berdua?
Aku mulai membaca.. Dan aku kembali marah! Mana gambarnya? Lalu bagaimana aku bisa tahu wajah si jahat burung gagak? lalu bagaimana bisa ku resapi wajah sendu burung gereja? Mana gambarnya?
Awalnya aku mulai bosan. Mana ada anak kecil seusiaku kala itu suka dengan buku tanpa gambar. Bodoh sekali!
Aku berlari, mencari buku buku bergambarku sebelumnya. Aku mencari gambar. Dapat! Aku sudah mengenalimu, gagak!
Kubuka lagi, lagi, lagi. Dapat! ternyata kaulah burung gereja. Lalu mana Burung Masjid?
Aku kembali membaca buku itu. berusaha memggambarkan sendiri betapa liciknya si gagak, betapa sabarnya si gereja, dan masih penasaran kapan burung masjid akan datang.
Apa itu pandai besi? Apa itu kuali?
Kembali hatiku bertanya-tanya. Namun aku tak sepanas tadi, aku sudah mulai bisa mengontrol emosiku.
Benar! Ceritanya mengalir. Pandai besi itu adalah orang yang pandai mengolah besi, dan kuali itu wadah dari besi. Sederhana, tapi itulah yang bisa kutangkap..
Negara demi negara telah kujelajahi. Bukit Merah di Cina, si Lumpuh di Bangladesh, dan banyak lagi.
Tak seperti Cinderella, dongeng ini berbeda!
Aku bisa menanam sesuatu yang baik, dan menuai hasilnya. Aku mengerti!!
Setelah buku itu habis kubaca.. Aku mulai penasaran dengan dunia luar. Mulai penasaran dengan orang-orang Arab. Mulai penasaran dengan badai. Dimana mereka?
Jauh! Ya, jauh!
Terlalu jauh untuk menjangkau mereka.. Lalu dengan apa aku bisa?
Buku! ya, buku!
Hari itu juga, aku memaksa mama membelikanku buku. Tapi kali ini bersyarat, tanpa gambar!
Sejak saat itu aku mulai menyukai buku, muali menyukai aroma buku, dan mulai menyukai buku tanpa gambar..
Ya, imajinasiku bebas berkeliaran jika buku itu tanpa gambar. Aku bebas menjadikan wajah siapapun jadi pemerannya.
Tapi semua buku-buku itu telah pergi, berpindah ke pemilik lain. Berpindah ke panti asuhan, yang juga disana akan ada anak-anak yang suka mengkhayal, suka menerka, dan suka membaca.
Dan di minggu pagi yang cerah ini, di bawah naungan atap rumahku ini, aku merindukan buku itu lagi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar