Senin, 11 November 2013

--Saat Hujan

Berteriaklah di depan air terjun tinggi,
berdebam suaranya memekakkan telinga
agar tidak ada yang tahu kau sedang berteriak

Berlarilah di tengah padang ilalang tinggi,
pucuk2nya lebih tinggi dari kepala
agar tidak ada yang tahu kau sedang berlari

Termenunglah di tengah senyapnya pagi,
yang kicau burung pun hilang entah kemana
agar tidak ada yang tahu kau sedang termangu

Dan, menangislah saat hujan,
ketika air membasuh wajah
agar tidak ada yang tahu kau sedang menangis, Kawan

Perasaan adalah perasaan,
Tidak kita bagikan dia tetap perasaan
Tidak kita sampaikan, ceritakan, dia tetap perasaan
Tidak berkurang satu helai pun nilainya
Tidak hilang satu daun pun dari tangkainya

Perasaan adalah perasaan,
Hidup bersamanya bukan kemalangan,
Hei, bukankah dia memberikan kesadaran
betapa indahnya dunia ini?

Hanya orang-orang terbaiklah yang akan menerima kabar baik
Hanya orang-orang bersabarlah yang akan menerima hadiah indah

Maka nasehat lama itu benar sekali,
Menangislah saat hujan,
ketika air membasuh wajah
agar tidak ada yang tahu kau sedang menangis, Kawan

--Tere Liye

Mati Suri

Siang itu terik sekali, keringatku bercucuran melintasi tiap-tiap koridor. Tak ada firasat, tak ada isyarat. Aku berjalan tak tentu arah, hanya sedang ingin mengikuti laju angin yang menggiringku. Hingga aku tiba di ruangan itu, ruang tempat kawan-kawanku sedang bercengkerama. aku kikuk, malu-malu untuk bergabung. langkah pertama, disambutlah aku. ku beranikan diri berbaur dalam tontonan. Benda yang bisa dilipat dan mudah dibawa itu sedang menampilkan gambar-gambar yang bergerak. aku menerka, menerawang. aku tak sedikitpun bertanya, aku hanya diam menikmatinya. Hingga tiba pada klimaksnya, ku lihat sosok itu lagi.. Angin berdesir halus, sehalus desah suaranya melafazkan kalimat-kalimat kitab suci umat Islam. Angin membuai wajahku, sejalan dengan senyumnya yang selengkung bulan sabit. Angin berhembus, hembuskan namamu.. Aku terpaku, mati suri. dalam senyum yang tiada henti melengkung, sekali lagi, aku mati suri.. 

hihiii


biar kau baca ini duhai rindu, aku yang tersisih dari jiwamu terengah-engah memapah separuh nafas, tertatih-tatih mencari apa yang telah kau rampas....

Aku, seorang perindu, yang hanya berdiam, menunggu, menjamur. 
Aku takkan mencarimu wahai penjarah jiwaku, tak perlu jadi musafir, karena aku telah menemukanmu, menari-nari di sudut hatiku..

Minggu, 10 November 2013

Pengagum (rahasia)

Selamat malam, kamu^^
Atau mungkin selamat siang?
Selamat sore?
Atau pagi kah disana?
Entahlah, aku tak tau lagi dimana kau sekarang..
Tapi anggap saja ketika kau membacanya di malam hari..

Malam ini cerah ya. Bintang-gemintang bertabur laksana pasir di bibir pantai. Rembulan menyabit sempurna ke arahku. Tapi selalu saja ada yang kurang. Ya, kau, kapten!
Aku tahu rasa ini tak kaubalas, tak kautahu. Namun aku tak pernah marah, aku tak pernah protes. Cinta itu bukan hanya untukku, banyak cinta yang lain yang menunggu sapamu. Lalu apa andilku? Tidak ada!
Akulah pecundang yang tak pernah berani bahkan untuk sekedar menegurmu. Yang selalu takut kehadiranku kausadari. Yang selalu nyaman menikmati selaksa punggung yang kuharap tak pernah berbalik ke arahku. Bodoh kan? Tapi itulah caraku mencintaimu, itulah cara memujimu. Jika kau tak terima pun aku takkan berhenti. Tapi aku akan selalu menjamin, rutinitasku ini takkan mengganggu hidupmu, sedikit pun!
Mencintai itu merelakan. Terkadang yang paling dicintailah yang harus direlakan. Dan aku telah merelakanmu untuk sama sekali tidak mencintaiku. Lebih tepatnya bukan merelakan, tapi menerima. Menerima kenyataan pahit yang kutelan manis-manis..
Jika laksana bintang, kau adalah bintang di malam kelabu. Ada, namun tak pernah bisa kunikmati. Jelas saja, aku bukan untukmu..
Aku telah dua kali berhasil mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu, berarti sepanjang itulah aku memujamu.. dua kali berulangtahun bukan waktu yang singkat bukan? Tapi aku menikmatinya, meresapi alirannya..
Entah kekuatan magis apa yang bisa menyeretku untuk tetap jatuh cinta padamu, dan berani menolak siapapun yang ingin mengisi sebagian hatiku. Ini bukan bodoh, ini kunamai pilihan. Ya, kaulah pilihan pertamaku, juga pilihan terakhirku. Tapi akulah pilihanmu yang tak pernah kaupilih.
Menunggumu adalah pilihan...
Aku tak pernah sebodoh ini sebelumnya..
Aku bukanlah seseorang yang sabar sebelum aku bertemu denganmu. Namun hadirmu mengajarkan arti menghargai, arti berusaha..
Apakah aku sedang berusaha?
Semua orang bisa menilai, aku tidak sedang berusaha. Aku tidak melakukan apa-apa..
Tapi Tuhan pun bisa menilai. Bagaimana caraku mendekapmu dengan doaku. Bagaimana caraku menjagamu dengan doaku. Bagaimana caraku memilikimu, dalam doa..
aku harap masa itu akan tiba, cepat atau lambat.. Terlalu muluk-muluk mungkin, tapi aku selalu berharap. Ketika kau akan berbalik dan tersenyum kepadaku, ketika kau akan menggenggam tanganku erat, ketika kau akan memelukku dan berbisik padaku bahwa kau juga mencintaiku, setelah kita terikat janji suci pernikahan..
lihatlah, harapanku terlalu muluk-muluk. Terlalu memikirkan pernikahan yang belum kumengerti sebenarnya. Tapi apalah arti aku mengerti semuanya jika tatapan matamu bisa menjelaskan?
Aku terlalu mengenal tatapanmu. Sayu. Bahkan membedakanmu pun cukup mudah untuk kutebak. Bukannya sombong, namun itulah yang kulakukan tiap malam, menikmati setiap pori-porimu. Men-zoom fotomu hingga ukuran maksimal, lalu kutelaah tiap tanda-tanda tubuhmu. Bodoh bukan?
Wajahmu pun terlalu sendu. Terlalu sendu untuk kurindukan. Terlalu acak-acakan ketika merindukanmu.. Sendu, namun teduh. Pernah sekali di sebuah gelanggang, tiba-tiba aku melihatmu, entahlah.. Tapi seperti biasa, aku berusaha berlari, bersembunyi, lalu menikmati keteduhan wajahmu..
LIHAT!! Benar-benar teduh! Tiba-tiba saja terik mentari tidak menyengatku. Kau benar-benar ajaib sebelum kusadari ternyata ada sebatang payung yang dibentangkan diatasku. Deg!
Aku benar-benar jadi orang bodoh sejak mengenalmu. Namun aku tetaplah gemilang. Masih dengan segudang prestasiku yang cukup layak dikatakan bahwa akulah anak yang tidak terpengaruh radiasi indahmu. Padahal, sembilan persepuluh hatiku telah terinfeksi senyummu..
Kau harusnya bangga dikagumi orang seperti aku –meski dalam diam. Kau harusnya bangga memiliki aku yang tak pernah lelah menunggumu, menunggu mimpi yang tak pernah kuusahakan. Kau harusnya bangga!
Tapi apalah arti hadirku jika hanya untuk mengganggumu? Buruk sekali.. Aku bukan pengganggu, aku pengagum. 

Kapten, kuharap kau membacanya.. Tapi kemungkinan yang kuterka, paling cepat kau membacanya tahun depan, paling cepat.. Aku tahu kau dengan kemalasanmu yang selangit.., aku tahu kau..

Selamat tidur kapten, jangan memimpikanku ya^^
Mimpi akan mengganggu kualitas tidurmu, dan aku tak mau itu terjadi. Jadi tolong jangan mimpikan aku, juga jangan rindukan aku..



Ergh, kutarik kembali..
Ku mohon rindukan aku, karena disini aku sedang merindukanmu^^


yang telah terjawab..

Sekarang aku mengerti tentang pertanyaan yang telah kulontarkan berkali-kali..
"Mengapa waktu kita selalu salah??"
pertanyaan ini, sebuah pertanyaan yang awalnya kupikir takkan pernah bisa kujawab. Pada akhirnya, setelah lelah sendiri dengan semua skenario yang kubuat sendiri, dengan semua harapan yang kurajut sendiri, dengan semua luka yang kubuat sendiri, aku mengerti.
Akulah sumber kesalahan itu, yang selalu berharap, terlalu tinggi..
Kau juga sumber kesalahan itu, yang tak pernah mengerti tentang rasa ini..
Namun pada dasarnya, dari awal semuanya memang sudah salah..

Apakah aku harus menyalahkan keadaan? Ya, aku harus menyalahkannya..

Semuanya memang salah, tak berputar pada lintasan perjalanannya..
Semuanya salah..

Lalu mengapa waktu kita selalu salah? Itu karena kita memang hanya sebuah kesalahan.. Ya, kita adalah sebuah kesalahan..

krik krik

Kau pasti tak tahu, betapa sakitnya cinta yang tak terbalas.
Namun, Kau harus tahu rasanya jauh lebih perih saat hatimu bersikeras untuk tetap menunggu.
Menunggu dia yang menganggapmu hanya seperti angin lalu.

Menanti seorang yang hanya menyayangimu sebatas teman atau sahabat.
Begitu besarnya kau berharap dia akan berbalik memandangmu lekat seraya tersenyum,
Kemudian mengatakan ""Aku juga mencintaimu""
mungkinkah itu akan terjadi?

Entahlah . sejujurnya aku ingin bertahan, namun setiap hari ku meragu
Jadi, haruskah aku berhenti mengaharapkanmu???

Tapi Bukan Aku..


Ketika lelah mendekapmu, bersandarlah..
Ada banyak pundak di luar sana yang akan memapahmu..
Tapi bukan aku..

Ketika luka tergores di hatimu, menangislah!
Ada banyak senyum di luar sana yang akan menguatkanmu..
Tapi bukan aku..

Kau tahu, aku selalu takut..
Bahkan untuk sekedar peduli..
Aku tahu siapa aku, aku tahu dimana posisiku..
Dan aku bisa mengerti..

Aku adalah pilihan kedua dari ratusan pilihan pertama..
Aku adalah rencana B dari puluhan rencana A
Ya, selalu saja beruntung
tapi bukan aku..

Selalu saja buruk, selalu saja gagal..

Bersembunyi, itulah aku..
Berdiam sendiri, itulah aku..
Yang selalu takut untuk berbicara..
Yang selalu takut untuk mengakuinya..

15:58.Pangkep.051013

Rindu..

Dulu, ketika usiaku sekitar tujuh tahun, waktu itu kelas 2 sekolah dasar yang cukup jauh dari rumahku.
Siang itu, saat kelahan sepulang dari sekolah. saat terik matahari tepat di ubun-ubun, membakar.
Bersama bilur-bilur peluh yang tak hnti-hentinya menetes. Aku masuk ke pekarangan sebuah sekolah menengah. Hal yang cukup lumrah bagi semua orang ketika melihat tubuh kecilku berlarian di sekolah itu.
Aku mendekati sebuah ruang kecil di ujung bangunan. Ya, mamaku!
Siang itu begitu berbeda. Ada selaksa senyum yang menyabit di wajahnya. Ada apa?
Sebuah buku menjulur untukku. Aku tak mengerti. Apa ini?
kubaca judulnya. Aku memang sudah fasih membaca sejak usiaku masih terlalu kecil, bahkan saat itu aku belum masuk TK. aku suka membaca kalimat-kalimat di kemasan makanan, dan ketika masuk TK aku sudah mulai terbiasa membaca koran pagi.
Buyar! Aku bingung..
Apa itu Bangladesh? Apa itu Chili?
Nama makanan kah? atau nama hewan?
Entahlah.. 

Tapi aku sudah cukup mengerti dari sedikit petunjuk di judulnya "Dongeng-Dongeng Bijak Dari Penjuru Dunia"

Memangnya dunia bisa masuk dalam buku? Memangnya dunia sekecil itu?

Berlagak, aku membaca bagian belakangnya..
"Tanamlah apa yang bisa kau tanam, lalu petiklah apa yang bisa kau petik"

Sesingkat itu? Aku tak mengerti maksud dari "dunia" yang sedang kugenggam ini. Apa yang akan ku tanam? Apa yang harus ku petik? Tomat kah? Jagung kah? Buku ini mulai mengganggu otakku..

Kubuka halaman pertama. Aku mencari gambar, ya, aku mencarinya. Tapi tak ada gambar, tak ada gambar seperti buku-buku dongengku. Lalu dengan jalan apa aku mengerti? dengan mengkhayalkah? dengan Membacakah?

Ku tatap wajahnya, hanya tersenyum. Lalu bagaimana aku mengerti?

Aku segera berlari pulang ke rumah..
Aku kembali membuka setiap lembaran lembarannya..
"Burung Gagak dan Burung Gereja"
Aku mulai marah! Kenapa bukan Burung Gagah dan Burung Masjid? kenapa harus mereka berdua?
Aku mulai membaca.. Dan aku kembali marah! Mana gambarnya? Lalu bagaimana aku bisa tahu wajah si jahat burung gagak? lalu bagaimana bisa ku resapi wajah sendu burung gereja? Mana gambarnya?

Awalnya aku mulai bosan. Mana ada anak kecil seusiaku kala itu suka dengan buku tanpa gambar. Bodoh sekali!

Aku berlari, mencari buku buku bergambarku sebelumnya. Aku mencari gambar. Dapat! Aku sudah mengenalimu, gagak!
Kubuka lagi, lagi, lagi. Dapat! ternyata kaulah burung gereja. Lalu mana Burung Masjid?

Aku kembali membaca buku itu. berusaha memggambarkan sendiri betapa liciknya si gagak, betapa sabarnya si gereja, dan masih penasaran kapan burung masjid akan datang.

Apa itu pandai besi? Apa itu kuali?
Kembali hatiku bertanya-tanya. Namun aku tak sepanas tadi, aku sudah mulai bisa mengontrol emosiku.

Benar! Ceritanya mengalir. Pandai besi itu adalah orang yang pandai mengolah besi, dan kuali itu wadah dari besi. Sederhana, tapi itulah yang bisa kutangkap..

Negara demi negara telah kujelajahi. Bukit Merah di Cina, si Lumpuh di Bangladesh, dan banyak lagi.
Tak seperti Cinderella, dongeng ini berbeda!
Aku bisa menanam sesuatu yang baik, dan menuai hasilnya. Aku mengerti!!

Setelah buku itu habis kubaca.. Aku mulai penasaran dengan dunia luar. Mulai penasaran dengan orang-orang Arab. Mulai penasaran dengan badai. Dimana mereka?

Jauh! Ya, jauh!
Terlalu jauh untuk menjangkau mereka.. Lalu dengan apa aku bisa?
Buku! ya, buku!
Hari itu juga, aku memaksa mama membelikanku buku. Tapi kali ini bersyarat, tanpa gambar!

Sejak saat itu aku mulai menyukai buku, muali menyukai aroma buku, dan mulai menyukai buku tanpa gambar..
Ya, imajinasiku bebas berkeliaran jika buku itu tanpa gambar. Aku bebas menjadikan wajah siapapun jadi pemerannya.

Tapi semua buku-buku itu telah pergi, berpindah ke pemilik lain. Berpindah ke panti asuhan, yang juga disana akan ada anak-anak yang suka mengkhayal, suka menerka, dan suka membaca.

Dan di minggu pagi yang cerah ini, di bawah naungan atap rumahku ini, aku merindukan buku itu lagi..